“Aku ingin melihat matamu terpejam dan bibirmu
menampakkan senyuman, caramu menggerakkan tangan, caramu bernafas, saat ini aku
bahagia bisa seharian bahkan semalam denganmu. Itu adalah hal yang tak pernah
bisa aku lupakan. Jaket merah, kaos bergaris, sederhana. Walaupun dalam keadaan
tertidur,kurasa kamu tetap terlihat tampan. Bolehkah aku seperti ini? Ah hanya
ini yang bisa kulakukan hanya untuk sekedar tau tentang kamu. Aku bahagia bisa
seperti ini, bisa mendeskripsikanmu. Tapi sayang, tetap terselip rasa tak enak
hati jika mengingat-ingat kalau sudah ada yang menyinggahi hatimu. Sudah ada
namanya dihatimu.”
Malam
itu, ada tawa dan hening tercipta menjelang para pemilik mata tertidur. 8 gelas
kopi, berjejeran di meja Mbah Suti. Meja yang bagiku renta tapi masih terlihat
gagah seperti pemiliknya. Ada 2 bangku yang ditempatkan bersilangan, disebelah
barat dan sebelah timur. Ada semacam kongres disitu, ditemani dengan dinginnya
udara gunung, pekatnya malam, dan gerimis sederhana yang mengguyur tempat Mbah Suti.
Mencoba memulai percakapan , meskipun hanya dengan sedikit menggombal. Sengaja
berhenti sejenak pada saat mengobrol, mencoba mengalihkan perhatian dan menaruh
konsentrasi ke musik yang dimainkan oleh “teman-teman”. Musik ber-genre Mellow
mampu menemani keheningan di malam itu.
Tiba
saatnya, indra penglihatan yang mulai mengantuk menuntun kita semua kedalam
ruangan yang kita sebut sebagai “Aula Mbah Suti” atau tempat untuk tidur para
tamu Mbah Suti. Didalamnya tidak ada kasur, bantal, selimut, lampu, apa lagi AC
dan TV. Untung saja ada 2 karpet sederhana yang dibawa oleh teman-teman. Dengan
kompak dan cekatan,tangan-tangan lelah dari teman-temanpun segera merebahkan
karpet dan merapikannya dengan sesekali bercanda. Setelah tertata rapi, semua
pemilik mata yang sudah mulai lunglai dan lelah merebahkan badan ditempat
sederhana itu. Untuk teman-teman yang nggak jomblo, pasti sedang bahagia,
karena bisa bersama-sama dengan orang yang disayang. Untuk aku yang jomblo,hanya
bisa menaruh dan berbagi kehangatan dengan sahabatku sendiri. Sesekali ada tawa
yang tiba-tiba tercipta dari suasana itu. Tetap, musik mellow penghantar tidur
kami.
Malam
mulai larut dan pekatnya dingin semakin menusuk tulang rusukku, pun teman-teman
yang lain. Kilat malam yang sedari tadi tidak mau berhenti,terkadang membuat
aku takut menatap langit. Baru kali ini bisa kembali tertidur sambil melihat
langit malam setelah sekian lama tidak berkemah. Terakhir kali saat Jambore
Nasional di Palembang. Tanpa sadar, jarum jam sudah menunjukkan pukul 02.00 WIB dan belum ada yang memejamkan mata
sepenuhnya sampai menit itu. Menit berganti tanpa sadar, mata kami terpejam
dengan sendirinya.
Keesokan
paginya, saat pekatnya udara dingin menjelmakan dirinya menjadi semakin tajam
dan menusuk tulang rusuk, mata kami terbuka. Kami menggigil-gigil sejadi-jadinya,
mencoba melipatkan tangan dan mengaitkannya ketubuh agar dingin tidak merasuk ketulang rusuk dengan mudahnya. Saat rasa
dingin mulai berkurang, kulangkahkan kaki kecilku menuju kamar mandi. Yaa…untuk
sekedar membasuh muka dan membersihkan diri. Setelah keluar dari kamar mandi,
kudapati “kamu” yang sedang duduk didekat bara api. Dengan merangkulkan telapak
tanganmu, nampaknya “kamu” juga sedang kedinginan. Kali ini kita sama. Perlahan
aku mencoba mendekatimu dan sekedar bertanya….
“Dingin ya??”
“Iya…”
Suara paraumu terdengar
sangat nyata ketika “kamu” kedinginan. Manis sekali. Saat aku sudah dalam
keadaan rapi dan bersih, ternyata yang lain sedang menunggu aku, sahabatku dan
tentunya kamu. Saat semua sudah berkumpul, langkah kecil kami melangkah
ketempat yang “kamu” katakan itu “Indah”.
Satu,
dua, tiga langkah daaan akhirnya kita sampai ditempat tujuan. Ada sedikit rasa
kecewa sebenarnya, karena pemandangan yang indah itu tertutup kabut tebal.
Ditempat itu udara menjadi lebih sangat dingin. Kabut pegunungan membasahi
rambut dan jaketku. Untuk melihat sunrise pun tidak mungkin,karena tertutup
kabut. Untuk mengurangi rasa kecewa kami, kami mengambil beberapa detik untuk
sekedar mengabadikan momen-momen bersama. 1 potret, 2 potret, 3,4 dst. Setelah
beberap jam, kabut pegunungan-pun menghilang dan tersuguhlah pemandangan yang sangat menakjubkan! Pemandangan yang belum pernah kulihat sebelumnya,
pemandangan yang sangat indah, pun terasa lebih indah karena ada “kamu”.
Bentangan
Kuasa-Nya sungguh tercipta sempurna tepat didepan mata. Semuanya indah,
terlihat gubuk, pepohonan terjajar rapih, bukit yang berjajar sempurna, tanaman
pakis aji yang terjajar indah dan tentunya langit yang begitu rupawan. Biru
muda, sempurna. Ada rasa bahagia juga ketika melihat senyum renyahmu
tercipta,walau bukan karena aku.
Setelah
dirasa cukup, kami segera kembali ketempat Mbah Suti. Ternyata kita semua
sama-sama menahan lapar. Aku dan sahabatku segera menuju dapur untuk menyiapkan
makanan seadanya. Ada mie instan, ubi dan teh. Aku memasak mie instan dan
membuatkan teh sedangkan sahabatku membakar umbi. Saat aku sudah selesai
membuat mie dan teh, aku duduk dikursi rendah depan kompor yang terbuat dari
batu bata. Aku masih merasa kedinginan dan aku memutuskan untuk duduk disana.
Tanpa kusadari,ternyata diseberang sana ada “kamu” duduk diatas kasur Mbah Suti.
Belum sempat aku memandangimu dari sini, tiba-tiba “kamu” menuju dapur dan
sekedar menyapa sambil tersenyum dan menyuarakan suara paraumu….
“Sudah matang??” lalu pergi….
Mie
instan sudah tertata rapi dimeja lengkap dengan nasi dan teh. Kami semua makan
dengan lahapnya. Setelah semua selesai dan tak ada yang tersisa, sesegera
mungkin aku membawa peralatan makan ketempat cucian piring lalu lekas mencuci
semuanya. Tak membutuhkan waktu lama, hanya 10 menit semua sudah rapi dan
bersih. Tanganku sudah terbiasa mengerjakan hal-hal sederhana seperti itu.
Sudah menjadi kebiasaan yang aku lakukan sehari-harinya.
Aku
mencuri-curi potret tentangmu. Sederhana,tapi aku butuh itu semua. Aku mencuri senyummu,
aku mencuri tawamu, aku menuruti gerak tanganmu, dan aku mencuri tatapanmu
dalam sebuah potretan. SEDERHANA. Dan semua bentuk kenangan dengan “kamu”
dimulai dari sini.