Kamis, 16 Juli 2015

PERTAMA (Senyum Renyahmu…..)


Aku ingin melihat matamu terpejam dan bibirmu menampakkan senyuman, caramu menggerakkan tangan, caramu bernafas, saat ini aku bahagia bisa seharian bahkan semalam denganmu. Itu adalah hal yang tak pernah bisa aku lupakan. Jaket merah, kaos bergaris, sederhana. Walaupun dalam keadaan tertidur,kurasa kamu tetap terlihat tampan. Bolehkah aku seperti ini? Ah hanya ini yang bisa kulakukan hanya untuk sekedar tau tentang kamu. Aku bahagia bisa seperti ini, bisa mendeskripsikanmu. Tapi sayang, tetap terselip rasa tak enak hati jika mengingat-ingat kalau sudah ada yang menyinggahi hatimu. Sudah ada namanya dihatimu.
                Malam itu, ada tawa dan hening tercipta menjelang para pemilik mata tertidur. 8 gelas kopi, berjejeran di meja Mbah Suti. Meja yang bagiku renta tapi masih terlihat gagah seperti pemiliknya. Ada 2 bangku yang ditempatkan bersilangan, disebelah barat dan sebelah timur. Ada semacam kongres disitu, ditemani dengan dinginnya udara gunung, pekatnya malam, dan gerimis sederhana yang mengguyur tempat Mbah Suti. Mencoba memulai percakapan , meskipun hanya dengan sedikit menggombal. Sengaja berhenti sejenak pada saat mengobrol, mencoba mengalihkan perhatian dan menaruh konsentrasi ke musik yang dimainkan oleh “teman-teman”. Musik ber-genre Mellow mampu menemani keheningan di malam itu.
                Tiba saatnya, indra penglihatan yang mulai mengantuk menuntun kita semua kedalam ruangan yang kita sebut sebagai “Aula Mbah Suti” atau tempat untuk tidur para tamu Mbah Suti. Didalamnya tidak ada kasur, bantal, selimut, lampu, apa lagi AC dan TV. Untung saja ada 2 karpet sederhana yang dibawa oleh teman-teman. Dengan kompak dan cekatan,tangan-tangan lelah dari teman-temanpun segera merebahkan karpet dan merapikannya dengan sesekali bercanda. Setelah tertata rapi, semua pemilik mata yang sudah mulai lunglai dan lelah merebahkan badan ditempat sederhana itu. Untuk teman-teman yang nggak jomblo, pasti sedang bahagia, karena bisa bersama-sama dengan orang yang disayang. Untuk aku yang jomblo,hanya bisa menaruh dan berbagi kehangatan dengan sahabatku sendiri. Sesekali ada tawa yang tiba-tiba tercipta dari suasana itu. Tetap, musik mellow penghantar tidur kami.
                Malam mulai larut dan pekatnya dingin semakin menusuk tulang rusukku, pun teman-teman yang lain. Kilat malam yang sedari tadi tidak mau berhenti,terkadang membuat aku takut menatap langit. Baru kali ini bisa kembali tertidur sambil melihat langit malam setelah sekian lama tidak berkemah. Terakhir kali saat Jambore Nasional di Palembang. Tanpa sadar, jarum jam sudah menunjukkan pukul 02.00  WIB dan belum ada yang memejamkan mata sepenuhnya sampai menit itu. Menit berganti tanpa sadar, mata kami terpejam dengan sendirinya.
                Keesokan paginya, saat pekatnya udara dingin menjelmakan dirinya menjadi semakin tajam dan menusuk tulang rusuk, mata kami terbuka. Kami menggigil-gigil sejadi-jadinya, mencoba melipatkan tangan dan mengaitkannya ketubuh agar dingin tidak merasuk  ketulang rusuk dengan mudahnya. Saat rasa dingin mulai berkurang, kulangkahkan kaki kecilku menuju kamar mandi. Yaa…untuk sekedar membasuh muka dan membersihkan diri. Setelah keluar dari kamar mandi, kudapati “kamu” yang sedang duduk didekat bara api. Dengan merangkulkan telapak tanganmu, nampaknya “kamu” juga sedang kedinginan. Kali ini kita sama. Perlahan aku mencoba mendekatimu dan sekedar bertanya….
Dingin ya??
Iya…
Suara paraumu terdengar sangat nyata ketika “kamu” kedinginan. Manis sekali. Saat aku sudah dalam keadaan rapi dan bersih, ternyata yang lain sedang menunggu aku, sahabatku dan tentunya kamu. Saat semua sudah berkumpul, langkah kecil kami melangkah ketempat yang “kamu” katakan itu “Indah”.
                Satu, dua, tiga langkah daaan akhirnya kita sampai ditempat tujuan. Ada sedikit rasa kecewa sebenarnya, karena pemandangan yang indah itu tertutup kabut tebal. Ditempat itu udara menjadi lebih sangat dingin. Kabut pegunungan membasahi rambut dan jaketku. Untuk melihat sunrise pun tidak mungkin,karena tertutup kabut. Untuk mengurangi rasa kecewa kami, kami mengambil beberapa detik untuk sekedar mengabadikan momen-momen bersama. 1 potret, 2 potret, 3,4 dst. Setelah beberap jam, kabut pegunungan-pun menghilang dan tersuguhlah pemandangan  yang sangat menakjubkan! Pemandangan yang belum pernah kulihat sebelumnya, pemandangan yang sangat indah, pun terasa lebih indah karena ada “kamu”.
                Bentangan Kuasa-Nya sungguh tercipta sempurna tepat didepan mata. Semuanya indah, terlihat gubuk, pepohonan terjajar rapih, bukit yang berjajar sempurna, tanaman pakis aji yang terjajar indah dan tentunya langit yang begitu rupawan. Biru muda, sempurna. Ada rasa bahagia juga ketika melihat senyum renyahmu tercipta,walau bukan karena aku.
                Setelah dirasa cukup, kami segera kembali ketempat Mbah Suti. Ternyata kita semua sama-sama menahan lapar. Aku dan sahabatku segera menuju dapur untuk menyiapkan makanan seadanya. Ada mie instan, ubi dan teh. Aku memasak mie instan dan membuatkan teh sedangkan sahabatku membakar umbi. Saat aku sudah selesai membuat mie dan teh, aku duduk dikursi rendah depan kompor yang terbuat dari batu bata. Aku masih merasa kedinginan dan aku memutuskan untuk duduk disana. Tanpa kusadari,ternyata diseberang sana ada “kamu” duduk diatas kasur Mbah Suti. Belum sempat aku memandangimu dari sini, tiba-tiba “kamu” menuju dapur dan sekedar menyapa sambil tersenyum dan menyuarakan suara paraumu….
                “Sudah matang??” lalu pergi….
                Mie instan sudah tertata rapi dimeja lengkap dengan nasi dan teh. Kami semua makan dengan lahapnya. Setelah semua selesai dan tak ada yang tersisa, sesegera mungkin aku membawa peralatan makan ketempat cucian piring lalu lekas mencuci semuanya. Tak membutuhkan waktu lama, hanya 10 menit semua sudah rapi dan bersih. Tanganku sudah terbiasa mengerjakan hal-hal sederhana seperti itu. Sudah menjadi kebiasaan yang aku lakukan sehari-harinya.
                Aku mencuri-curi potret tentangmu. Sederhana,tapi aku butuh itu semua. Aku mencuri senyummu, aku mencuri tawamu, aku menuruti gerak tanganmu, dan aku mencuri tatapanmu dalam sebuah potretan. SEDERHANA. Dan semua bentuk kenangan dengan “kamu” dimulai dari sini.
                Blitar,17 April 2013